Bahaya Pluralisme, Sekularisme, dan Liberalisme
Beberapa tahun belakangan ini muncul gagasan ‘ajaib’ tentang konsep keberagamaan, yaitu Pluralisme, Sekularisme, dan Liberalisme. Hal ini timbul disebabkan adanya rasa toleransi antar agama yang berlebihan. Dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk, perbedaan adalah suatu hal yang biasa dan lumrah. Pada Zaman Rasullullah pun hal tersebut pernah terjadi, yaitu pada awal periode Madinah. Pada saat itu kaum Muslimin hidup berdampingan dengan kaum musyrikin penyembah berhala, Yahudi dan Nasrani. Mereka menjalankan ibadahnya dengan caranya masing-masing.
“Katakanlah : Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.“ (QS. Al-Kafirun [109] : 1-6).
Selama periode tersebut, dakwah Islam memang terus berlangsung, namun tanpa paksaan. Allah SWT menghendaki semua manusia di dunia ini tanpa kecuali berhak menerima peringatan dan kebenaran dari-Nya, karena Islam bukan hanya merupakan hak istimewa dan monopoli bangsa Arab.
“(Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali-Imraan [3] : 138).
Sebaliknya, bagi orang yang telah menerima Islam, mau tidak mau, terpaksa ataupun tidak, mereka harus menerima konsekwensinya. Allah menjamin keselamatan kaum Muslimin selama mereka taat dalam menjalankan hukum dan perintah-Nya.
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Tagut* dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 256).
Pengusiran terhadap kaum Yahudi akhirnya terjadi karena mereka terus-menerus merongrong dan bahkan tidak saja mengancam jiwa Muhammad SAW, namun juga kelangsungan ajaran agama yang masih berumur sangat muda tersebut.
Namun di Indonesia saat ini, toleransi antar agama tidak lagi sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Dialog antar agama kerap dilakukan para pemuka dan cendekiawan agama, tetapi hasilnya baru sebatas menghindari perselisihan saja., tidak mencapai substansi yang mendasar. Hal ini terbukti dengan malah munculnya berbagai aliran atau isme seperti Pluralisme (semua agama sama), Sekularisme (agama dipisahkan dari kehidupan sehari-hari), dan Liberalisme (kebebasan untuk menafsirkan ayat-ayat suci).
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 208).
Padahal demi mencapai suatu kebenaran, perdebatan kadang memang harus terjadi. Yang diperlukan adalah kedewasaan, sikap untuk saling terbuka, sikap untuk mau menerima kenyataan bahwa sesuatu yang sudah terbiasa dan lama diyakini ‘benar’ belum tentu kebenarannya, kalau memang itu terbukti tidak benar. Suatu sikap lapang dada untuk menerima kesalahan dan kekhilafan dengan penuh kesadaran. Di samping itu, yang benarpun tidak perlu merasa congkak dan arogan, karena yang dicari adalah kebenaran. Jadi bukan masalah kalah, menang, ataupun mengalah.
“Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (`Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti `Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.” (QS. An-Nisaa [4] : 159).
Sebaliknya, dengan mengambil sikap jalan tengah seperti menyamakan semua agama ataupun menyatakan bahwa semua agama adalah benar, tentu berbahaya.
“Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi'in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2] : 62).
Ayat inilah yang sering dijadikan pegangan bagi mereka yang bersiteguh bahwa semua agama adalah sama dan benar disisi Allah SWT. Padahal yang dimaksud ayat di atas adalah orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi'in yang mengimani seluruh rasul dan kitab termasuk Muhammad SAW dan Al-Qur'anul Karim. Atau bagi mereka yang hidup pada zaman sebelum Islam datang, tidak merubah-rubah kitab mereka, yaitu Taurat ataupun Injil yang dibawa Musa AS dan Isa AS.
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3] : 85).
Hal ini tentu akan berakibat sangat buruk, karena pada akhirnya orang-orang seperti ini cenderung hanya mementingkan keimanan saja tanpa merasakan keharusan untuk melaksanakan kewajiban atau syari'at sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW.
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 110).
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisaa [4] : 103).
“Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah [5] : 5).
“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. An-Nuur [24] : 52).
Dari Abu Hurairah RA, Rasululah bersabda, “Bangsa Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan, kaum Nasrani telah terpecah menjadi 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu.” Kemudian para sahabatpun bertanya, “Siapa mereka, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Mereka yang mengikutiku dan sahabat-sahabatku.”
Wallahu a’lam bishshawwab.
Penulis : Sylvia Nurhadi
Referensi : Hegemoni Kristen-Barat, dalam studi Islam di perguruan tinggi oleh Adian Husaini
Sumber : kotasantri.com
from One Day One Juz's Facebook Wall
Beberapa tahun belakangan ini muncul gagasan ‘ajaib’ tentang konsep keberagamaan, yaitu Pluralisme, Sekularisme, dan Liberalisme. Hal ini timbul disebabkan adanya rasa toleransi antar agama yang berlebihan. Dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk, perbedaan adalah suatu hal yang biasa dan lumrah. Pada Zaman Rasullullah pun hal tersebut pernah terjadi, yaitu pada awal periode Madinah. Pada saat itu kaum Muslimin hidup berdampingan dengan kaum musyrikin penyembah berhala, Yahudi dan Nasrani. Mereka menjalankan ibadahnya dengan caranya masing-masing.
“Katakanlah : Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.“ (QS. Al-Kafirun [109] : 1-6).
Selama periode tersebut, dakwah Islam memang terus berlangsung, namun tanpa paksaan. Allah SWT menghendaki semua manusia di dunia ini tanpa kecuali berhak menerima peringatan dan kebenaran dari-Nya, karena Islam bukan hanya merupakan hak istimewa dan monopoli bangsa Arab.
“(Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali-Imraan [3] : 138).
Sebaliknya, bagi orang yang telah menerima Islam, mau tidak mau, terpaksa ataupun tidak, mereka harus menerima konsekwensinya. Allah menjamin keselamatan kaum Muslimin selama mereka taat dalam menjalankan hukum dan perintah-Nya.
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Tagut* dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 256).
Pengusiran terhadap kaum Yahudi akhirnya terjadi karena mereka terus-menerus merongrong dan bahkan tidak saja mengancam jiwa Muhammad SAW, namun juga kelangsungan ajaran agama yang masih berumur sangat muda tersebut.
Namun di Indonesia saat ini, toleransi antar agama tidak lagi sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Dialog antar agama kerap dilakukan para pemuka dan cendekiawan agama, tetapi hasilnya baru sebatas menghindari perselisihan saja., tidak mencapai substansi yang mendasar. Hal ini terbukti dengan malah munculnya berbagai aliran atau isme seperti Pluralisme (semua agama sama), Sekularisme (agama dipisahkan dari kehidupan sehari-hari), dan Liberalisme (kebebasan untuk menafsirkan ayat-ayat suci).
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 208).
Padahal demi mencapai suatu kebenaran, perdebatan kadang memang harus terjadi. Yang diperlukan adalah kedewasaan, sikap untuk saling terbuka, sikap untuk mau menerima kenyataan bahwa sesuatu yang sudah terbiasa dan lama diyakini ‘benar’ belum tentu kebenarannya, kalau memang itu terbukti tidak benar. Suatu sikap lapang dada untuk menerima kesalahan dan kekhilafan dengan penuh kesadaran. Di samping itu, yang benarpun tidak perlu merasa congkak dan arogan, karena yang dicari adalah kebenaran. Jadi bukan masalah kalah, menang, ataupun mengalah.
“Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (`Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti `Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.” (QS. An-Nisaa [4] : 159).
Sebaliknya, dengan mengambil sikap jalan tengah seperti menyamakan semua agama ataupun menyatakan bahwa semua agama adalah benar, tentu berbahaya.
“Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi'in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2] : 62).
Ayat inilah yang sering dijadikan pegangan bagi mereka yang bersiteguh bahwa semua agama adalah sama dan benar disisi Allah SWT. Padahal yang dimaksud ayat di atas adalah orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi'in yang mengimani seluruh rasul dan kitab termasuk Muhammad SAW dan Al-Qur'anul Karim. Atau bagi mereka yang hidup pada zaman sebelum Islam datang, tidak merubah-rubah kitab mereka, yaitu Taurat ataupun Injil yang dibawa Musa AS dan Isa AS.
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3] : 85).
Hal ini tentu akan berakibat sangat buruk, karena pada akhirnya orang-orang seperti ini cenderung hanya mementingkan keimanan saja tanpa merasakan keharusan untuk melaksanakan kewajiban atau syari'at sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW.
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 110).
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisaa [4] : 103).
“Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah [5] : 5).
“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. An-Nuur [24] : 52).
Dari Abu Hurairah RA, Rasululah bersabda, “Bangsa Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan, kaum Nasrani telah terpecah menjadi 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu.” Kemudian para sahabatpun bertanya, “Siapa mereka, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Mereka yang mengikutiku dan sahabat-sahabatku.”
Wallahu a’lam bishshawwab.
Penulis : Sylvia Nurhadi
Referensi : Hegemoni Kristen-Barat, dalam studi Islam di perguruan tinggi oleh Adian Husaini
Sumber : kotasantri.com
from One Day One Juz's Facebook Wall
Tidak ada komentar:
Posting Komentar