Kisah Cinta Romantis Ali dan Fatimah
Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya
pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang
dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh
memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan
kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari
ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan
kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati,
ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke
luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati
menangis. Muhammad ibn 'Abdullah Sang Tepercaya tak
layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis
cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka'bah. Di sana,
para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa
membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba
dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah
waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu
kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia
memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang
mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling
akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak
awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak
diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu
"Allah mengujiku rupanya", begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu
Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama,
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti
'Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan
RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar
menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara
'Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di
ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah
berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang
masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; 'Utsman,
'Abdurrahman ibn 'Auf, Thalhah, Zubair, Sa'd ibn Abi
Waqqash, Mush'ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan
kanak-kanak kurang pergaulan seperti 'Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan
para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga
Yassir, 'Abdullah ibn Mas'ud.. Dan siapa budak yang
dibebaskan 'Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang
saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
'Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. "Inilah
persaudaraan dan cinta", gumam 'Ali.
"Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku
mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku."
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil
kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau
pengorbanan
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan
kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga
semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu
rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang
gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk
Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak
mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat
syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk
lutut.
'Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah
kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar
Fathimah. 'Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar
3 tahun setelah 'Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang
menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan
kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang
menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya 'Umar
dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum
muslimin? Dan lebih dari itu, 'Ali mendengar sendiri betapa
seringnya Nabi berkata, "Aku datang bersama Abu Bakar
dan 'Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan 'Umar, aku
masuk bersama Abu Bakr dan 'Umar.."
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah
Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah
dan bagaimana 'Umar melakukannya. 'Ali menyusul sang
Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh
yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu
'Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam
malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang
gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
'Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali,
lalu naik ke atas Ka'bah. "Wahai Quraisy", katanya. "Hari
ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang
ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau
ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang 'Umar di
balik bukit ini!" 'Umar adalah lelaki pemberani. 'Ali, sekali
lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang
banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi
menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. 'Umar jauh
lebih layak. Dan 'Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan
Maka 'Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran
'Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang
seperti 'Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi
Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn
Rabi'kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti
Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh
membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya 'Abdurrahman ibn 'Auf yang
setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil
menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan
dengan mereka? Sa'd ibn Mu'adz kah, sang pemimpin Aus
yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn 'Ubaidah,
pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
"Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?", kalimat
teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
"Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku
punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda
Nabi.. "
"Aku?", tanyanya tak yakin.
"Ya. Engkau wahai saudaraku!"
"Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?"
"Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!"
'Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan
memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk
menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi
tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu
set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar
untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga
tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta
Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua
sekarang.
"Engkau pemuda sejati wahai 'Ali!", begitu nuraninya
mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas
cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-
pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, "Ahlan wa sahlan!" Kata itu
meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat
datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat
penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun
bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia
siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan
daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung
berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera
tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
"Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?"
"Entahlah.."
"Apa maksudmu?"
"Menurut kalian apakah 'Ahlan wa Sahlan' berarti sebuah
jawaban!"
"Dasar tolol! Tolol!", kata mereka,
"Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan
kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan
juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-
duanya berarti ya !"
Dan 'Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan
baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin
disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar
ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu
Bakr, 'Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk
menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
'Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda
Arab memiliki yel, "Laa fatan illa 'Aliyyan! Tak ada
pemuda kecuali Ali!" Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan
yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan
tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta
untuk menanti. Seperti 'Ali. Ia mempersilakan. Atau
mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri
Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu
hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada 'Ali,
"Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku
pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda"
'Ali terkejut dan berkata, "kalau begitu mengapa engkau mau
manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?"
Sambil tersenyum Fathimah berkata, "Ya, karena pemuda
itu adalah Dirimu" ini merupakan sisi ROMANTIS dari
hubungan mereka berdua.
Kemudian Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah
puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka
saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskimpoi empat ratus
Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima)
mahar tersebut."
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
"Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian
berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua,
memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari
kalian berdua kebajikan yang banyak." (kitab Ar-Riyadh
An-Nadhrah 2:183, bab4)
Kisah Romantis ini diambil dari buku Jalan Cinta Para
Pejuang, Salim A.Fillah
chapter aslinya berjudul "Mencintai sejantan 'Ali"
from One Day One Juz's Facebook Wall
Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya
pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang
dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh
memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan
kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari
ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan
kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati,
ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke
luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati
menangis. Muhammad ibn 'Abdullah Sang Tepercaya tak
layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis
cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka'bah. Di sana,
para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa
membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba
dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah
waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu
kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia
memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang
mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling
akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak
awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak
diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu
"Allah mengujiku rupanya", begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu
Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama,
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti
'Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan
RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar
menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara
'Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di
ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah
berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang
masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; 'Utsman,
'Abdurrahman ibn 'Auf, Thalhah, Zubair, Sa'd ibn Abi
Waqqash, Mush'ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan
kanak-kanak kurang pergaulan seperti 'Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan
para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga
Yassir, 'Abdullah ibn Mas'ud.. Dan siapa budak yang
dibebaskan 'Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang
saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
'Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. "Inilah
persaudaraan dan cinta", gumam 'Ali.
"Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku
mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku."
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil
kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau
pengorbanan
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan
kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga
semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu
rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang
gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk
Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak
mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat
syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk
lutut.
'Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah
kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar
Fathimah. 'Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar
3 tahun setelah 'Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang
menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan
kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang
menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya 'Umar
dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum
muslimin? Dan lebih dari itu, 'Ali mendengar sendiri betapa
seringnya Nabi berkata, "Aku datang bersama Abu Bakar
dan 'Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan 'Umar, aku
masuk bersama Abu Bakr dan 'Umar.."
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah
Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah
dan bagaimana 'Umar melakukannya. 'Ali menyusul sang
Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh
yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu
'Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam
malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang
gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
'Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali,
lalu naik ke atas Ka'bah. "Wahai Quraisy", katanya. "Hari
ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang
ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau
ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang 'Umar di
balik bukit ini!" 'Umar adalah lelaki pemberani. 'Ali, sekali
lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang
banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi
menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. 'Umar jauh
lebih layak. Dan 'Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan
Maka 'Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran
'Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang
seperti 'Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi
Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn
Rabi'kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti
Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh
membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya 'Abdurrahman ibn 'Auf yang
setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil
menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan
dengan mereka? Sa'd ibn Mu'adz kah, sang pemimpin Aus
yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn 'Ubaidah,
pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
"Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?", kalimat
teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
"Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku
punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda
Nabi.. "
"Aku?", tanyanya tak yakin.
"Ya. Engkau wahai saudaraku!"
"Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?"
"Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!"
'Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan
memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk
menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi
tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu
set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar
untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga
tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta
Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua
sekarang.
"Engkau pemuda sejati wahai 'Ali!", begitu nuraninya
mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas
cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-
pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, "Ahlan wa sahlan!" Kata itu
meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat
datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat
penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun
bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia
siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan
daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung
berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera
tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
"Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?"
"Entahlah.."
"Apa maksudmu?"
"Menurut kalian apakah 'Ahlan wa Sahlan' berarti sebuah
jawaban!"
"Dasar tolol! Tolol!", kata mereka,
"Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan
kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan
juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-
duanya berarti ya !"
Dan 'Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan
baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin
disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar
ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu
Bakr, 'Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk
menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
'Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda
Arab memiliki yel, "Laa fatan illa 'Aliyyan! Tak ada
pemuda kecuali Ali!" Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan
yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan
tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta
untuk menanti. Seperti 'Ali. Ia mempersilakan. Atau
mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri
Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu
hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada 'Ali,
"Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku
pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda"
'Ali terkejut dan berkata, "kalau begitu mengapa engkau mau
manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?"
Sambil tersenyum Fathimah berkata, "Ya, karena pemuda
itu adalah Dirimu" ini merupakan sisi ROMANTIS dari
hubungan mereka berdua.
Kemudian Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah
puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka
saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskimpoi empat ratus
Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima)
mahar tersebut."
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
"Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian
berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua,
memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari
kalian berdua kebajikan yang banyak." (kitab Ar-Riyadh
An-Nadhrah 2:183, bab4)
Kisah Romantis ini diambil dari buku Jalan Cinta Para
Pejuang, Salim A.Fillah
chapter aslinya berjudul "Mencintai sejantan 'Ali"
from One Day One Juz's Facebook Wall
Tidak ada komentar:
Posting Komentar