PERNIKAHAN ADALAH PERISTIWA PERADABAN
Pernikahan itu seperti kematian, ia tak dapat diprediksi namun wajib untuk disiapkan.
Pernikahan itu seperti kematian, ia tak perlu dibicarakan namun ia pasti akan datang.
Kita seringkali menganggap pernikahan itu adalah peristiwa hati. Padahal sesungguhnya pernikahan adalah peristiwa peradaban.
Ini bukan hanya tentang dua manusia yang saling mencinta lalu mengucap akad.
Ini peristiwa peradaban yang mengubah demografi manusia.
Pernikahan adalah sayap kehidupan. Rumah adalah benteng jiwa. Jika di rumah kita mendapat energi memadai, di luar rumah kita akan produktif.
“Sakinah” bukan cuma “tenang”. Ia berasal dari kata “sakan” yang artinya “diam/tetap/stabil”. Maka ia tenang karena stabil, bukan lalai.
Sakinah: ketenangan yang lahir dari kemantapan hati. Manusia menjadi tenang saat kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi secara komperhensif.
Al-Qur’an menjelaskan: “Kami jadikan air sebagai sumber kehidupannya”. Air (mani): sumber stabilitas dan produktifitas. Hakikat pernikahan tidak bisa dipelajari dari manapun.Learning by doing.
Islam arahkan menikah muda agar penasaran itu cepat terjawab. Agar setelah “rasa penasaran” itu terjawab, perhatian seseorang bisa lebih banyak tercurah dari urusan biologis ke intelektualitas-spiritualitas.
Tidak perlu takut terhadap beban hidup, yang perlu dilakukan hanya mengelolanya. Sebab pelaut ulung pun terlahir setelah melewati gelombang-gelombang samudera.
Yang bisa membuat kita melewati gelombang itu adalah persepsi awal yang benar tentang cinta. Dorongan untuk terus memberi pada yang kita cintai.
Hubungan yang terbina bukan hanya hubungan emosional, tapi juga spiritual-rasional. Karena keluarga ini adalah basis sosial terkecil untuk membangun peradaban.
[Khutbah pernikahan anak Ust. Tate Qomaruddin oleh Ust. Anis Matta]
*****
Masih teringat jelas, beberapa tahun yang lalu. Beberapa hari menjelang pernikahannya, seorang akhwat yang sudah aku anggap sebagai mbak di kampus mengatakan demikian:
“Jika seorang akhwat siap menikah, berarti ia harus siap akan 3 hal. Pertama, siap untuk diceraikan. Kedua, siap untuk di”dua”kan. Ketiga, siap untuk ditinggalkan baik dalam keadaan meninggal atau dalam keadaan hidup.”
Dan aku terheran… kenapa harus begitu mbak?
“Karena sekalipun engkau telah menikah dengannya, engkau tak akan pernah bisa memilikinya. Jika engkau hendak bersiap untuk sebuah pertemuan, maka siapkanlah juga dirimu untuk sebuah perpisahan.”
Belum selesai keheranan saya dengan susunan kalimat tersebut, beliau lantas berlalu pergi sambil melambaikan tangannya pada sebuah angkot. Dan saya pun hanya mampu terdiam, sambil mencoba untuk menyerap dalam-dalam makna kalimatnya.
*****
Suatu ketika seorang ukhti bercerita pada saya tentang kisahnya.
Secara agama, tidak ada yang kurang dari ukhti ini, beliau cerdas, hafizhah, dan hafal beberapa hadits. Beberapa hari menjelang pernikahannya, beliau tampak sedih mendengar kabar buruk lantaran pernikahannya dibatalkan sepihak oleh pihak calon mempelai lelaki. Pertanyaannya mengapa? Tepat sebulan sebelum ukhti ini mendapat kabar tersebut, beliau diminta seorang ustadz agar menjalani proses ta’aruf dengan seorang ikhwan.
“Apa kriteria akhwat yang diminta ikhwan tersebut yaa ustadz?” Tanya sang ukhti. Ustadz pun menjawab: “Shalihah dan Hafizhah, bukankah itu semua ada dalam kriteria diri anti? bagaimana? Apakah anti bersedia menjalani proses tersebut?”
Bismillah… sang ukhti pun bersedia untuk menjalani proses tersebut…
Proses itu masih dirasa lancar-lancar saja hingga suatu ketika ada kalanya ukhti dan ikhwan tersebut dipertemukan… Beberapa hari setelah pertemuan tersebut, sang ikhwan menulis sebuah pesan singkat yang bertuliskan:
“Ukhti, saya sama sekali tidak menyangsikan dalamnya ketaatan ukhti… tidak juga menyangsikan luasnya ilmu agama ukhti, namun, saya hanya merasa tidak pantas beristrikan seorang akhwat sekaliber ukhti… saya mohon maaf, saya tidak mampu meneruskan proses ini lebih jauh lagi…”
Salah apa?
Mungkin itulah pertanyaan pertama yang terbersit dalam benak ukhti tersebut. Jika, dalamnya ketaatan dan luasnya ilmu agama itu salah, lantas mengapa ikhwan tersebut menyebutkan salah satu kriteria akhwat yang ia inginkan adalah “Shalihah dan Hafizhah”
Salah apa?
Apakah karena ikhwan tersebut bukanlah seorang hafizh, dan ukhti ini adalah seorang hafizhah, maka sang ikhwan itu menjadi “minder”? jika memang benar demikian, bukankah pernikahan adalah sarana menyempurnakan yang kurang sempurna dan menggenapkan yang belum genap?
Salah apa?
Menangis pun rasanya percuma. Karena toh, ukhti ini tahu, bahkan sangat tahu bahwa jodoh tidak akan ke mana. Ia benar-benar paham bahwa yang baik adalah untuk yang baik juga sebaliknya. Namun, yang tidak ia tahu adalah mengapa ia ditolak justru karena kebaikan agamanya?
Salah apa?
Dan pertanyaan ini belum terjawab hingga sang ustadz yang menjadi penghubung proses ta’aruf mereka pun menjelaskan bahwa ada beberapa kriteria fisik yang tidak ditemukan sang ikhwan pada ukhti ini…
Terjawablah sudah… Engkau pasti bisa membayangkan betapa hancur hati sang ukhti, bagaimana bisa? Seorang ikhwan -yang mengaku- ingin menikahi perempuan shalihah dan hafizhah, menghentikan proses ta’arufnya “hanya” karena pertimbangan fisik dan itu pun tak mampu ia jelaskan pada akhwat tersebut… Lantas pertanyaan di benak sang ukhti itu pun berubah…
“Jika yang engkau inginkan adalah seorang akhwat yang shalihah dan hafizhah… Maka shalihah yang seperti apa yang engkau inginkan? Shalihah versi Allah? Atau shalihah versi mu? Versi nafsu duniamu?”
*****
Di sisi lain, di sudut waktu yang berbeda… Suatu ketika berceritalah dua ukhtina shalihah…
“Aku pengen deh punya suami yang sama sekali gak pernah aku kenal sebelumnya, tapi kalau bisa, dia adalah seorang bla bla bla (sambil menyebutkan salah satu profesi pekerjaan). Supaya nanti gak ada fitnah dan bisa saling belajar memahami lagi…”
Ukhti kedua tersenyum sambil menjawab halus… “target itu perlu, tapi jangan sampai itu menjadikan kita menghalalkan segalanya untuk mencapai target itu, carilah yang menenangkan dan mampu menjadi imam. Yang menenangkan dan mampu menjadi imam. Kemudian, istikharahlah dalam setiap prosesnya, karena sebenarnya, jodohmu telah ditentukan oleh-Nya. Yang tak dikenal sama sekali sebelumnya pun, belum tentu mampu menjadi yang menenangkan… bukan kah hakikat pernikahan itu adalah sakinah (tenang)?
*****
Berhentilah kawan. Berhentilah untuk mengkorelasikan pernikahan dengan kegalauan. Berhentilah, saya mohon. Karena pernikahan (bagi saya) adalah tentang sebuah cita-cita agung yang harus kita siapkan sedari sekarang.
Berhentilah teman. Berhenti untuk menghubungkan pernikahan dengan kelabilan.
Berhentilah, saya mohon. Karena jika saja engkau tahu, betapa bangganya orang-orang di luar sana dengan sistem pacarannya, lantas mengapa kita tak bangga dengan sistem pernikahan yang telah diatur dalam Islam? Kenapa harus, justru kita lah (kaum muslimin) yang “menjatuhkan” makna pernikahan itu sendiri?
Bagi saya… Pernikahan adalah tentang bagaimana engkau harus mengeja a.. ba.. ta.. tsa.. agar kelak keluarga yang engkau bangun adalah keluarga yang dinaungi cahaya Al-Qur’an.
Pernikahan adalah tentang bagaimana engkau harus berpayah-payah masuk ke dapur, lantas bersahabat dengan segala pernak-pernik didalamnya agar kelak engkau bisa memberikan nutrisi terbaik untuk mereka para penerus peradaban.
Pernikahan adalah tentang ilmu, tentang bagaimana engkau harus membolak-balik buku tentang psikologi lelaki dan perempuan, tentang perkembangan pada anak, tentang rumah tangga para shahabiyah…
Pernikahan adalah tentang bagaimana engkau harus mengurangi konsumsi makanan dan minuman yang kurang sehat sekalipun engkau sangat ingin mengkonsumsinya. Karena engkau tahu, engkau harus menyiapkan rahim yang kuat agar terlahir tujuh atau bahkan sepuluh para mujahid dan mujahidah.
Pernikahan adalah tentang bagaimana engkau harus menabung seperak demi seperak agar kelak engkau mampu memberikan nutrisi dan pendidikan terbaik untuk para pewaris kejayaan Islam…
Pernikahan adalah tentang bagaimana engkau harus belajar melunturkan ego, agar perahu yang akan dibawa bersama kelak tak karam di tengah jalan.
Pernikahan adalah tentang bagaimana engkau menyembunyikan keluhan dan menutupi kelemahan, pada mereka yang yang perlu penguatanmu…
Itulah mengapa, seorang Habibie membutuhkan Ainun untuk menciptakan sebongkah pesawat terbang pertama di Indonesia, itulah mengapa Rasulullah membutuhkan Khadijah untuk mengemban amanah dakwah yang tidaklah mudah… Itulah mengapa di balik lelaki yang hebat selalu ada perempuan yang kuat…
Pernikahan adalah tentang bagaimana engkau belajar untuk menjadi ibu, untuk menjadi istri, untuk menjadi menantu, untuk menjadi kakak ipar, untuk menjadi adik ipar, untuk menjadi sahabat, untuk menjadi…
Karena pernikahan adalah tak sekadar penyatuan dua insan, melainkan penyatuan dua keluarga besar.
Akhirnya,
Dalam hening penuh kesyahduan, mari bermunajat…
“Tenggelamkan hamba ke dalam lautan cinta-Mu yaa Robb, agar tak ada cinta lain yang mengisi hatiku, kecuali menambah kecintaanku pada-Mu…”
*****
Ah, dunia… Jika saja bukan dengan menjalanimu aku bisa masuk surga dan bertemu dengan-Nya… Maka dari itu, sekali lagi semuanya haruslah satu tema -termasuk perkara ini juga- yaitu, untuk-Nya…
(re-post)
silahkan di share
http://ift.tt/1yHjpr3
from One Day One Juz's Facebook Wall
Pernikahan itu seperti kematian, ia tak dapat diprediksi namun wajib untuk disiapkan.
Pernikahan itu seperti kematian, ia tak perlu dibicarakan namun ia pasti akan datang.
Kita seringkali menganggap pernikahan itu adalah peristiwa hati. Padahal sesungguhnya pernikahan adalah peristiwa peradaban.
Ini bukan hanya tentang dua manusia yang saling mencinta lalu mengucap akad.
Ini peristiwa peradaban yang mengubah demografi manusia.
Pernikahan adalah sayap kehidupan. Rumah adalah benteng jiwa. Jika di rumah kita mendapat energi memadai, di luar rumah kita akan produktif.
“Sakinah” bukan cuma “tenang”. Ia berasal dari kata “sakan” yang artinya “diam/tetap/stabil”. Maka ia tenang karena stabil, bukan lalai.
Sakinah: ketenangan yang lahir dari kemantapan hati. Manusia menjadi tenang saat kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi secara komperhensif.
Al-Qur’an menjelaskan: “Kami jadikan air sebagai sumber kehidupannya”. Air (mani): sumber stabilitas dan produktifitas. Hakikat pernikahan tidak bisa dipelajari dari manapun.Learning by doing.
Islam arahkan menikah muda agar penasaran itu cepat terjawab. Agar setelah “rasa penasaran” itu terjawab, perhatian seseorang bisa lebih banyak tercurah dari urusan biologis ke intelektualitas-spiritualitas.
Tidak perlu takut terhadap beban hidup, yang perlu dilakukan hanya mengelolanya. Sebab pelaut ulung pun terlahir setelah melewati gelombang-gelombang samudera.
Yang bisa membuat kita melewati gelombang itu adalah persepsi awal yang benar tentang cinta. Dorongan untuk terus memberi pada yang kita cintai.
Hubungan yang terbina bukan hanya hubungan emosional, tapi juga spiritual-rasional. Karena keluarga ini adalah basis sosial terkecil untuk membangun peradaban.
[Khutbah pernikahan anak Ust. Tate Qomaruddin oleh Ust. Anis Matta]
*****
Masih teringat jelas, beberapa tahun yang lalu. Beberapa hari menjelang pernikahannya, seorang akhwat yang sudah aku anggap sebagai mbak di kampus mengatakan demikian:
“Jika seorang akhwat siap menikah, berarti ia harus siap akan 3 hal. Pertama, siap untuk diceraikan. Kedua, siap untuk di”dua”kan. Ketiga, siap untuk ditinggalkan baik dalam keadaan meninggal atau dalam keadaan hidup.”
Dan aku terheran… kenapa harus begitu mbak?
“Karena sekalipun engkau telah menikah dengannya, engkau tak akan pernah bisa memilikinya. Jika engkau hendak bersiap untuk sebuah pertemuan, maka siapkanlah juga dirimu untuk sebuah perpisahan.”
Belum selesai keheranan saya dengan susunan kalimat tersebut, beliau lantas berlalu pergi sambil melambaikan tangannya pada sebuah angkot. Dan saya pun hanya mampu terdiam, sambil mencoba untuk menyerap dalam-dalam makna kalimatnya.
*****
Suatu ketika seorang ukhti bercerita pada saya tentang kisahnya.
Secara agama, tidak ada yang kurang dari ukhti ini, beliau cerdas, hafizhah, dan hafal beberapa hadits. Beberapa hari menjelang pernikahannya, beliau tampak sedih mendengar kabar buruk lantaran pernikahannya dibatalkan sepihak oleh pihak calon mempelai lelaki. Pertanyaannya mengapa? Tepat sebulan sebelum ukhti ini mendapat kabar tersebut, beliau diminta seorang ustadz agar menjalani proses ta’aruf dengan seorang ikhwan.
“Apa kriteria akhwat yang diminta ikhwan tersebut yaa ustadz?” Tanya sang ukhti. Ustadz pun menjawab: “Shalihah dan Hafizhah, bukankah itu semua ada dalam kriteria diri anti? bagaimana? Apakah anti bersedia menjalani proses tersebut?”
Bismillah… sang ukhti pun bersedia untuk menjalani proses tersebut…
Proses itu masih dirasa lancar-lancar saja hingga suatu ketika ada kalanya ukhti dan ikhwan tersebut dipertemukan… Beberapa hari setelah pertemuan tersebut, sang ikhwan menulis sebuah pesan singkat yang bertuliskan:
“Ukhti, saya sama sekali tidak menyangsikan dalamnya ketaatan ukhti… tidak juga menyangsikan luasnya ilmu agama ukhti, namun, saya hanya merasa tidak pantas beristrikan seorang akhwat sekaliber ukhti… saya mohon maaf, saya tidak mampu meneruskan proses ini lebih jauh lagi…”
Salah apa?
Mungkin itulah pertanyaan pertama yang terbersit dalam benak ukhti tersebut. Jika, dalamnya ketaatan dan luasnya ilmu agama itu salah, lantas mengapa ikhwan tersebut menyebutkan salah satu kriteria akhwat yang ia inginkan adalah “Shalihah dan Hafizhah”
Salah apa?
Apakah karena ikhwan tersebut bukanlah seorang hafizh, dan ukhti ini adalah seorang hafizhah, maka sang ikhwan itu menjadi “minder”? jika memang benar demikian, bukankah pernikahan adalah sarana menyempurnakan yang kurang sempurna dan menggenapkan yang belum genap?
Salah apa?
Menangis pun rasanya percuma. Karena toh, ukhti ini tahu, bahkan sangat tahu bahwa jodoh tidak akan ke mana. Ia benar-benar paham bahwa yang baik adalah untuk yang baik juga sebaliknya. Namun, yang tidak ia tahu adalah mengapa ia ditolak justru karena kebaikan agamanya?
Salah apa?
Dan pertanyaan ini belum terjawab hingga sang ustadz yang menjadi penghubung proses ta’aruf mereka pun menjelaskan bahwa ada beberapa kriteria fisik yang tidak ditemukan sang ikhwan pada ukhti ini…
Terjawablah sudah… Engkau pasti bisa membayangkan betapa hancur hati sang ukhti, bagaimana bisa? Seorang ikhwan -yang mengaku- ingin menikahi perempuan shalihah dan hafizhah, menghentikan proses ta’arufnya “hanya” karena pertimbangan fisik dan itu pun tak mampu ia jelaskan pada akhwat tersebut… Lantas pertanyaan di benak sang ukhti itu pun berubah…
“Jika yang engkau inginkan adalah seorang akhwat yang shalihah dan hafizhah… Maka shalihah yang seperti apa yang engkau inginkan? Shalihah versi Allah? Atau shalihah versi mu? Versi nafsu duniamu?”
*****
Di sisi lain, di sudut waktu yang berbeda… Suatu ketika berceritalah dua ukhtina shalihah…
“Aku pengen deh punya suami yang sama sekali gak pernah aku kenal sebelumnya, tapi kalau bisa, dia adalah seorang bla bla bla (sambil menyebutkan salah satu profesi pekerjaan). Supaya nanti gak ada fitnah dan bisa saling belajar memahami lagi…”
Ukhti kedua tersenyum sambil menjawab halus… “target itu perlu, tapi jangan sampai itu menjadikan kita menghalalkan segalanya untuk mencapai target itu, carilah yang menenangkan dan mampu menjadi imam. Yang menenangkan dan mampu menjadi imam. Kemudian, istikharahlah dalam setiap prosesnya, karena sebenarnya, jodohmu telah ditentukan oleh-Nya. Yang tak dikenal sama sekali sebelumnya pun, belum tentu mampu menjadi yang menenangkan… bukan kah hakikat pernikahan itu adalah sakinah (tenang)?
*****
Berhentilah kawan. Berhentilah untuk mengkorelasikan pernikahan dengan kegalauan. Berhentilah, saya mohon. Karena pernikahan (bagi saya) adalah tentang sebuah cita-cita agung yang harus kita siapkan sedari sekarang.
Berhentilah teman. Berhenti untuk menghubungkan pernikahan dengan kelabilan.
Berhentilah, saya mohon. Karena jika saja engkau tahu, betapa bangganya orang-orang di luar sana dengan sistem pacarannya, lantas mengapa kita tak bangga dengan sistem pernikahan yang telah diatur dalam Islam? Kenapa harus, justru kita lah (kaum muslimin) yang “menjatuhkan” makna pernikahan itu sendiri?
Bagi saya… Pernikahan adalah tentang bagaimana engkau harus mengeja a.. ba.. ta.. tsa.. agar kelak keluarga yang engkau bangun adalah keluarga yang dinaungi cahaya Al-Qur’an.
Pernikahan adalah tentang bagaimana engkau harus berpayah-payah masuk ke dapur, lantas bersahabat dengan segala pernak-pernik didalamnya agar kelak engkau bisa memberikan nutrisi terbaik untuk mereka para penerus peradaban.
Pernikahan adalah tentang ilmu, tentang bagaimana engkau harus membolak-balik buku tentang psikologi lelaki dan perempuan, tentang perkembangan pada anak, tentang rumah tangga para shahabiyah…
Pernikahan adalah tentang bagaimana engkau harus mengurangi konsumsi makanan dan minuman yang kurang sehat sekalipun engkau sangat ingin mengkonsumsinya. Karena engkau tahu, engkau harus menyiapkan rahim yang kuat agar terlahir tujuh atau bahkan sepuluh para mujahid dan mujahidah.
Pernikahan adalah tentang bagaimana engkau harus menabung seperak demi seperak agar kelak engkau mampu memberikan nutrisi dan pendidikan terbaik untuk para pewaris kejayaan Islam…
Pernikahan adalah tentang bagaimana engkau harus belajar melunturkan ego, agar perahu yang akan dibawa bersama kelak tak karam di tengah jalan.
Pernikahan adalah tentang bagaimana engkau menyembunyikan keluhan dan menutupi kelemahan, pada mereka yang yang perlu penguatanmu…
Itulah mengapa, seorang Habibie membutuhkan Ainun untuk menciptakan sebongkah pesawat terbang pertama di Indonesia, itulah mengapa Rasulullah membutuhkan Khadijah untuk mengemban amanah dakwah yang tidaklah mudah… Itulah mengapa di balik lelaki yang hebat selalu ada perempuan yang kuat…
Pernikahan adalah tentang bagaimana engkau belajar untuk menjadi ibu, untuk menjadi istri, untuk menjadi menantu, untuk menjadi kakak ipar, untuk menjadi adik ipar, untuk menjadi sahabat, untuk menjadi…
Karena pernikahan adalah tak sekadar penyatuan dua insan, melainkan penyatuan dua keluarga besar.
Akhirnya,
Dalam hening penuh kesyahduan, mari bermunajat…
“Tenggelamkan hamba ke dalam lautan cinta-Mu yaa Robb, agar tak ada cinta lain yang mengisi hatiku, kecuali menambah kecintaanku pada-Mu…”
*****
Ah, dunia… Jika saja bukan dengan menjalanimu aku bisa masuk surga dan bertemu dengan-Nya… Maka dari itu, sekali lagi semuanya haruslah satu tema -termasuk perkara ini juga- yaitu, untuk-Nya…
(re-post)
silahkan di share
http://ift.tt/1yHjpr3
from One Day One Juz's Facebook Wall
Tidak ada komentar:
Posting Komentar