Kisah Yang Hebat... Subhanalloh
Kisah ini sudah populer di antara kita, namun setiap kali saya membacanya, mengingatnya, selalu membuat merinding, terharu bahkan berkaca-kaca..
Sebuah kisah persudaraan Islam yang demikian eratnya. Kisah Ukhuwah Islamiyah di atas segalanya.
saya memberinya judul "Agar Jangan Sampai Dikatakan.."
Inilah kisah True Story yang terjadi pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab.
Suatu hari Umar sedang duduk di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Di sekelilingnya para sahabat sedang asyik berdiskusi sesuatu. Di kejauhan datanglah 3 orang pemuda. Dua pemuda memegangi seorang pemuda lusuh yang diapit oleh mereka
Ketika sudah berhadapan dengan Umar, kedua pemuda yang ternyata kakak beradik itu berkata,
"Tegakkanlah keadilan untuk kami, wahai Amirul Mukminin!" "Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatan pemuda ini!".
Umar segera bangkit dan berkata, "Bertakwalah kepada Allah, benarkah engkau membunuh ayah mereka wahai anak muda?"
Pemuda lusuh itu menunduk sesal dan berkata, "Benar, wahai Amirul Mukminin."
"Ceritakanlah kepada kami kejadiannya.", tukas Umar.
Pemuda lusuh itu memulai ceritanya,
"Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku memercayakan aku untuk suatu urusan muammalah untuk kuselesaikan di kota ini. Sesampainya aku, kuikat untaku pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia. Begitu kembali, aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku, rupanya untaku terlepas dan merusak kebun yang menjadi milik laki-laki tua itu. Sungguh, aku sangat marah, segera kucabut pedangku dan kubunuh ia. Ternyata ia adalah ayah dari kedua pemuda ini."
"Wahai, Amirul Mukminin, kau telah mendengar ceritanya, kami bisa mendatangkan saksi untuk itu.", sambung pemuda yang ayahnya terbunuh.
"Tegakkanlah had Allah atasnya!" timpal yang lain.
Umar tertegun dan bimbang mendengar cerita si pemuda lusuh.
"Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih lagi baik budinya. Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat', ujarnya.
"Izinkan aku, meminta kalian berdua memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat atas kematian ayahmu", lanjut Umar.
"Maaf Amirul Mukminin," sergah kedua pemuda masih dengan mata marah menyala, "kami sangat menyayangi ayah kami, dan kami tidak akan ridha jika jiwa belum dibalas dengan jiwa".
Umar semakin bimbang, di hatinya telah tumbuh simpati kepada si pemuda lusuh yang dinilainya amanah, jujur dan bertanggung jawab.
Tiba-tiba si pemuda lusuh berkata,"Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha dengan ketentuan Allah" ujarnya dengan tegas,
"Namun, izinkan aku menyelesaikan dulu urusan kaumku. Berilah aku tangguh 3 hari. Aku akan kembali untuk diqishash".
"Mana bisa begitu?", ujar kedua pemuda.
"Nak, tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu?" tanya Umar.
"Sayangnya tidak ada Amirul Mukminin, bagaimana pendapatmu jika aku mati membawa hutang pertanggungjawaban kaumku bersamaku?" pemuda lusuh balik bertanya.
"Baik, aku akan meberimu waktu tiga hari. Tapi harus ada yang mau menjaminmu, agar kamu kembali untuk menepati janji." kata Umar.
"Aku tidak memiliki seorang kerabatpun di sini. Hanya Allah, hanya Allah lah penjaminku wahai orang-orang beriman", rajuknya.
Tiba-tiba dari belakang hadirin terdengar suara lantang, "Jadikan aku penjaminnya wahai Amirul Mukminin".
Ternyata Salman al Farisi yang berkata..
"Salman?" hardik Umar marah, "Kau belum mengenal pemuda ini, Demi Allah, jangan main-main dengan urusan ini".
"Perkenalanku dengannya sama dengan perkenalanmu dengannya, ya Umar. Dan aku mempercayainya sebagaimana engkau percaya padanya", jawab Salman tenang.
Akhirnya dengan berat hati Umar mengizinkan Salman menjadi penjamin si pemuda lusuh.
Pemuda itu pun pergi mengurus urusannya.
Hari pertama berakhir tanpa ada tanda-tanda kedatangan si pemuda lusuh. Begitupun hari kedua.
Orang-orang mulai bertanya-tanya apakah si pemuda akan kembali. Karena mudah saja jika si pemuda itu menghilang ke negeri yang jauh.
Hari ketiga pun tiba. Orang-
orang mulai meragukan kedatangan si pemuda, dan
mereka mulai mengkhawatirkan
nasib Salman. Salah satu sahabat
Rasulullah saw yang paling utama.
Matahari hampir tenggelam, hari
mulai berakhir, orang-orang berkumpul untuk menunggu
kedatangan si pemuda lusuh. Umar
berjalan mondar-mandir
menunjukkan kegelisahannya.
Kedua pemuda yang menjadi
penggugat kecewa karena keingkaran janji si pemuda lusuh. Akhirnya tiba waktunya
penqishashan, Salman dengan
tenang dan penuh ketawakkalan
berjalan menuju tempat eksekusi.
Hadirin mulai terisak, orang hebat
seperti Salman akan dikorbankan. Tiba-tiba di kejauhan ada sesosok
bayangan berlari terseok-seok,
jatuh, bangkit, kembali jatuh, lalu
bangkit kembali. ”Itu dia!”
teriak Umar, “Dia datang
menepati janjinya!”. Dengan tubuhi bersimbah peluh dan
nafas tersengal-sengal, si pemuda
itu ambruk di pengkuan Umar.
”Hh..hh.. maafkan.. maafkan..
aku..” ujarnya dengan susahi
payah, “Tak kukira.. urusan kaumku.. menyita..banyak..
waktu..”. ”Kupacu..
tungganganku.. tanpa henti,
hingga.. ia sekarat di gurun..
terpaksa.. kutinggalkan.. lalu aku
berlari dari sana..” ”Demi Allah”, ujar Umar menenanginya
dan memberinya minum,
“Mengapa kau susah payah
kembali? Padahal kau bisa saja
kabur dan menghilang?” ”Agar..
jangan sampai ada yang mengatakan.. di kalangan
Muslimin.. tak ada lagi ksatria..
tepat janji..” jawab si pemuda
lusuh sambil tersenyum.
Mata Umar berkaca-kaca, sambil
menahan haru, lalu ia bertanya, “Lalu kau Salman, mengapa mau-
maunya kau menjamin orang yang
baru saja kau kenal? ”Agar
jangan sampai dikatakan, di
kalangan Muslimin, tidak ada lagi
rasa saling percaya dan mau menanggung beban saudaranya”,
Salman menjawab dengan mantap. Hadirin mulai banyak yang
menahan tangis haru dengan
kejadian itu. ”Allahu Akbar!”
tiba-tiba kedua pemuda penggugat
berteriak,
“Saksikanlah wahai kaum Muslimin, bahwa kami telah
memaafkan saudara kami itu”.
Semua orang tersentak kaget.
“Kalian..” ujar Umar, “Apa
maksudnya ini? Mengapa
kalian..?” Umar semakin haru. ”Agar jangan sampai dikatakan,
di kalangan Muslimin tidak ada lagi
orang yang mau memberi maaf
dan sayang kepada saudaranya”
ujar kedua pemuda membahana.
”Allahu Akbar!” teriak hadirin. Pecahlah tangis bahagia, haru dan sukacita oleh semua orang.
Begitupun kita disini, dihari ini, saat ini..
sambil menyisipkan sebersit rasa
iri karena tak bisa merasakannya
langsung bersama saudara- saudara kita pada saat itu..
“Allahu Akbar…”
Barokallohufiikum...
from One Day One Juz's Facebook Wall
Kisah ini sudah populer di antara kita, namun setiap kali saya membacanya, mengingatnya, selalu membuat merinding, terharu bahkan berkaca-kaca..
Sebuah kisah persudaraan Islam yang demikian eratnya. Kisah Ukhuwah Islamiyah di atas segalanya.
saya memberinya judul "Agar Jangan Sampai Dikatakan.."
Inilah kisah True Story yang terjadi pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab.
Suatu hari Umar sedang duduk di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Di sekelilingnya para sahabat sedang asyik berdiskusi sesuatu. Di kejauhan datanglah 3 orang pemuda. Dua pemuda memegangi seorang pemuda lusuh yang diapit oleh mereka
Ketika sudah berhadapan dengan Umar, kedua pemuda yang ternyata kakak beradik itu berkata,
"Tegakkanlah keadilan untuk kami, wahai Amirul Mukminin!" "Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatan pemuda ini!".
Umar segera bangkit dan berkata, "Bertakwalah kepada Allah, benarkah engkau membunuh ayah mereka wahai anak muda?"
Pemuda lusuh itu menunduk sesal dan berkata, "Benar, wahai Amirul Mukminin."
"Ceritakanlah kepada kami kejadiannya.", tukas Umar.
Pemuda lusuh itu memulai ceritanya,
"Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku memercayakan aku untuk suatu urusan muammalah untuk kuselesaikan di kota ini. Sesampainya aku, kuikat untaku pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia. Begitu kembali, aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku, rupanya untaku terlepas dan merusak kebun yang menjadi milik laki-laki tua itu. Sungguh, aku sangat marah, segera kucabut pedangku dan kubunuh ia. Ternyata ia adalah ayah dari kedua pemuda ini."
"Wahai, Amirul Mukminin, kau telah mendengar ceritanya, kami bisa mendatangkan saksi untuk itu.", sambung pemuda yang ayahnya terbunuh.
"Tegakkanlah had Allah atasnya!" timpal yang lain.
Umar tertegun dan bimbang mendengar cerita si pemuda lusuh.
"Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih lagi baik budinya. Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat', ujarnya.
"Izinkan aku, meminta kalian berdua memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat atas kematian ayahmu", lanjut Umar.
"Maaf Amirul Mukminin," sergah kedua pemuda masih dengan mata marah menyala, "kami sangat menyayangi ayah kami, dan kami tidak akan ridha jika jiwa belum dibalas dengan jiwa".
Umar semakin bimbang, di hatinya telah tumbuh simpati kepada si pemuda lusuh yang dinilainya amanah, jujur dan bertanggung jawab.
Tiba-tiba si pemuda lusuh berkata,"Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha dengan ketentuan Allah" ujarnya dengan tegas,
"Namun, izinkan aku menyelesaikan dulu urusan kaumku. Berilah aku tangguh 3 hari. Aku akan kembali untuk diqishash".
"Mana bisa begitu?", ujar kedua pemuda.
"Nak, tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu?" tanya Umar.
"Sayangnya tidak ada Amirul Mukminin, bagaimana pendapatmu jika aku mati membawa hutang pertanggungjawaban kaumku bersamaku?" pemuda lusuh balik bertanya.
"Baik, aku akan meberimu waktu tiga hari. Tapi harus ada yang mau menjaminmu, agar kamu kembali untuk menepati janji." kata Umar.
"Aku tidak memiliki seorang kerabatpun di sini. Hanya Allah, hanya Allah lah penjaminku wahai orang-orang beriman", rajuknya.
Tiba-tiba dari belakang hadirin terdengar suara lantang, "Jadikan aku penjaminnya wahai Amirul Mukminin".
Ternyata Salman al Farisi yang berkata..
"Salman?" hardik Umar marah, "Kau belum mengenal pemuda ini, Demi Allah, jangan main-main dengan urusan ini".
"Perkenalanku dengannya sama dengan perkenalanmu dengannya, ya Umar. Dan aku mempercayainya sebagaimana engkau percaya padanya", jawab Salman tenang.
Akhirnya dengan berat hati Umar mengizinkan Salman menjadi penjamin si pemuda lusuh.
Pemuda itu pun pergi mengurus urusannya.
Hari pertama berakhir tanpa ada tanda-tanda kedatangan si pemuda lusuh. Begitupun hari kedua.
Orang-orang mulai bertanya-tanya apakah si pemuda akan kembali. Karena mudah saja jika si pemuda itu menghilang ke negeri yang jauh.
Hari ketiga pun tiba. Orang-
orang mulai meragukan kedatangan si pemuda, dan
mereka mulai mengkhawatirkan
nasib Salman. Salah satu sahabat
Rasulullah saw yang paling utama.
Matahari hampir tenggelam, hari
mulai berakhir, orang-orang berkumpul untuk menunggu
kedatangan si pemuda lusuh. Umar
berjalan mondar-mandir
menunjukkan kegelisahannya.
Kedua pemuda yang menjadi
penggugat kecewa karena keingkaran janji si pemuda lusuh. Akhirnya tiba waktunya
penqishashan, Salman dengan
tenang dan penuh ketawakkalan
berjalan menuju tempat eksekusi.
Hadirin mulai terisak, orang hebat
seperti Salman akan dikorbankan. Tiba-tiba di kejauhan ada sesosok
bayangan berlari terseok-seok,
jatuh, bangkit, kembali jatuh, lalu
bangkit kembali. ”Itu dia!”
teriak Umar, “Dia datang
menepati janjinya!”. Dengan tubuhi bersimbah peluh dan
nafas tersengal-sengal, si pemuda
itu ambruk di pengkuan Umar.
”Hh..hh.. maafkan.. maafkan..
aku..” ujarnya dengan susahi
payah, “Tak kukira.. urusan kaumku.. menyita..banyak..
waktu..”. ”Kupacu..
tungganganku.. tanpa henti,
hingga.. ia sekarat di gurun..
terpaksa.. kutinggalkan.. lalu aku
berlari dari sana..” ”Demi Allah”, ujar Umar menenanginya
dan memberinya minum,
“Mengapa kau susah payah
kembali? Padahal kau bisa saja
kabur dan menghilang?” ”Agar..
jangan sampai ada yang mengatakan.. di kalangan
Muslimin.. tak ada lagi ksatria..
tepat janji..” jawab si pemuda
lusuh sambil tersenyum.
Mata Umar berkaca-kaca, sambil
menahan haru, lalu ia bertanya, “Lalu kau Salman, mengapa mau-
maunya kau menjamin orang yang
baru saja kau kenal? ”Agar
jangan sampai dikatakan, di
kalangan Muslimin, tidak ada lagi
rasa saling percaya dan mau menanggung beban saudaranya”,
Salman menjawab dengan mantap. Hadirin mulai banyak yang
menahan tangis haru dengan
kejadian itu. ”Allahu Akbar!”
tiba-tiba kedua pemuda penggugat
berteriak,
“Saksikanlah wahai kaum Muslimin, bahwa kami telah
memaafkan saudara kami itu”.
Semua orang tersentak kaget.
“Kalian..” ujar Umar, “Apa
maksudnya ini? Mengapa
kalian..?” Umar semakin haru. ”Agar jangan sampai dikatakan,
di kalangan Muslimin tidak ada lagi
orang yang mau memberi maaf
dan sayang kepada saudaranya”
ujar kedua pemuda membahana.
”Allahu Akbar!” teriak hadirin. Pecahlah tangis bahagia, haru dan sukacita oleh semua orang.
Begitupun kita disini, dihari ini, saat ini..
sambil menyisipkan sebersit rasa
iri karena tak bisa merasakannya
langsung bersama saudara- saudara kita pada saat itu..
“Allahu Akbar…”
Barokallohufiikum...
from One Day One Juz's Facebook Wall
Tidak ada komentar:
Posting Komentar