TENTANG SEBUAH BUKU DI HARI BUKU SEDUNIA

Tahukah Anda buku terbaik di dunia? Jika berkenan, mohon luangkan waktu Anda untuk membaca catatan saya yang agak panjang ini.

Hari ini, 23 April, diperingati sebagai hari buku sedunia. Banyak orang tiba-tiba ramai membicarakan buku. Beberapa di antara teman-teman saya bahkan membuat daftar: Buku terbaik sepanjang masa, buku favorit yang pernah mereka baca, buku yang paling memengaruhi kehidupan mereka, dan seterusnya.

Hari ini, banyak orang membicarakan buku. Mereka mengunggah sampul buku favorit mereka dan menjadikannya gambar profil. Beberapa dari mereka menulis status berisi kutipan dari buku-buku yang pernah mereka baca, dari pengarang-pengarang terbaik yang paling mereka kagumi. Sementara beberapa yang lain membuat semacam resolusi bahwa tahun ini akan membaca lebih banyak buku dari tahun-tahun sebelumnya.

Namun, di tengah berbagai judul buku yang dibicarakan, ada satu buku yang tampaknya luput dari perhatian. Buku yang di antara jutaan buku-buku lainnya seringkali dibiarkan kesepian di sudut-sudut rak perpustakaan… Buku yang di beberapa rumah dibiarkan berdebu… Buku yang beberapa orang merasa malu untuk mengutip tulisan-tulisan di dalamnya… Buku yang sering dianggap sebagai ‘bukan buku’ sehingga banyak orang enggan membaca aneka pelajaran dan kisah-kisah yang terkandung di dalamnya.

Buku itu bernama Al-Quran Al-Karim.

Dengan berbagai alasan, beberapa orang enggan menyebut dan menganggapnya sebagai buku, karena katanya ia adalah ‘kitab suci’. Menurut mereka, ia berbeda dengan buku biasa, ia adalah buku yang paling istimewa! Hey, bukankah buku yang paling istimewa pun tetap merupakan sebuah buku? Allah sendiri dalam Al-Quran bahkan menyebutnya sebagai ‘buku’ (dalam bahasa Arab, ‘kitab’)… kitab yang tak ada sedikitpun keraguan di dalamnya.

Khaled Abou el-Fadl dalam bukunya yang berjudul ‘A Conference of the Books: The Search of Beauty in Islam’ (2005) menyebut Al-Quran sebagai buku yang paling menginspirasi lahirnya jutaan buku lain setelahnya. Bagi El-Fadl, jika saja bisa terselenggara sebuah musyawarah buku, maka Al-Quran akan selalu menjadi pembicara utama yang bisa menjawab sekaligus memberi rujukan bagi berbagai persoalan yang diajukan… Ia akan menjadi titik pusat bagi jutaan bahkan miliaran buku lain yang terus-menerus bertawaf mengelilinginya.

Saya ingat sebuah cerpen dari Jorge Luis Borges yang menceritakan seorang pustkawan buta yang menjaga sebuah labirin perpustakaan raksasa. Dikisahkan suatu hari ia didatangi seorang pemuda yang mencari buku terbaik yang ada di perpustakaan itu, buku yang jika dibaca dengan baik maka akan bisa menyelesaikan seluruh persoalan hidup manusia.

“Ya, kau benar… Konon ada sebuah buku di dalam perpustakaan ini,” kata si pustakawan buta kepada sang pemuda. “Akupun terus mencarinya. Aku sudah menghabiskan seluruh hidupku untuk membaca seluruh buku yang ada di perpustakaan ini, membaca semuanya satu persatu hingga mataku menjadi buta, tetapi sayangnya aku belum berhasil menemukan buku itu…”

Hingga akhir cerita, Borges tidak mengatakan buku apa yang disebut sebagai buku terbaik yang bisa menyelesaikan seluruh persoalan umat manusia itu. Namun sang pemuda dan pustakwan buta terus mencarinya, terus mencarinya…

Ketika membaca cerpen itu, pikiran saya bertanya-tanya: Mungkinkah buku itu adalah Al-Quran?

***

Hari ini adalah hari buku sedunia. Saya merasa saya terlalu lama melupakan dan bahkan mencampakkan sebuah buku yang paling penting dan utama. Buku itu bernama Al-Quran Al-Karim.

Suatu hari saya menonton sebuah film tentang Yusuf (Joseph) yang diadaptasi dari kitab suci agama lain. Hingga film itu selesai, saya menggerutu: Film ini ngawur! Kisah Yusuf AS yang benar yang digambarkan Al-Quran bukan seperti itu! Tapi kemudian saya bertanya pada diri sendiri: Lalu, seperti apa kisah yang benar? Seperti apa Yusuf AS yang digambarkan Al-Quran?

Kemudian saya bergegas mencari Al-Quran saya, membersihkannya dari debu-debu. Lalu membaca dengan saksama kisah Yusuf AS di dalamnya. Di sana saya menyadari betapa indah buku yang sedang saya baca itu, saya takjub betapa hebat Al-Quran dalam menceritakan sesuatu… Sayangnya, mengapa selama ini saya tak mendekati Al-Quran sebagai sebuah buku? Pernahkah saya membaca Al-Quran, misalnya edisi terjemahan Bahasa Indonesianya, dari awal hingga akhir, dan menikmatinya sebagaimana saya membaca sebuah buku?

Saya jadi berpikir, bagaimana saya bisa memahami Al-Quran jika selama ini Al-Quran dibaca sepotong-sepotong? Satu ayat, satu ‘ain, satu lembar, satu surat, satu juz, dan seterusnya. Bagaimana saya bisa memahaminya jika saya membacanya sambil terburu-buru—hanya untuk menuntaskan target khataman atau mengejar setoran bacaan? Tetapi, yang paling mengguncangkan saya adalah mengapa sulit sekali saya meluangkan waktu untuk membacanya?

Saya jadi ingat nasihat guru saya, katanya, “Para Sahabat Nabi mengkhatamkan Al-Quran sekali setiap hari. Tetapi jika kau tak sanggup, bacalah al-Quran satu juz setiap hari.”

Saya bertanya pada guru saya waktu itu, “Jika tetap tidak bisa?”

“Bacalah satu surat setiap hari.” Jawabnya.

“Jika saya tak punya waktu, Guru?”

“Bacalah satu lembar setiap hari.”

“Jika tidak sempat?”

“Bacalah satu ‘ain setiap hari.”

Saya terdiam. “Jika saya begitu sibuk dan tak bisa membaca satu ‘ain setiap hari?”

Guru saya tersenyum, “Bacalah satu ayat setiap hari.”

Saya merasa gusar, lalu mengemukakan sebuah pertanyaan, “Guru, bagaimana jika saya tak bisa membaca Al-Quran?”

Guru saya tersenyum, “Pandanglah Al-Quran itu baik-baik, lalu tanyakanlah kepadanya, ‘Wahai Al-Quran, mengapa aku tak bisa membaca engkau?’

Mengapa aku tak bisa membaca engkau?

Selamat hari buku sedunia!

Melbourne, 23 April 2015

FAHD PAHDEPIE




from One Day One Juz's Facebook Wall

TENTANG SEBUAH BUKU DI HARI BUKU SEDUNIA Tahukah Anda buku terbaik di dunia? Ji...

TENTANG SEBUAH BUKU DI HARI BUKU SEDUNIA

Tahukah Anda buku terbaik di dunia? Jika berkenan, mohon luangkan waktu Anda untuk membaca catatan saya yang agak panjang ini.

Hari ini, 23 April, diperingati sebagai hari buku sedunia. Banyak orang tiba-tiba ramai membicarakan buku. Beberapa di antara teman-teman saya bahkan membuat daftar: Buku terbaik sepanjang masa, buku favorit yang pernah mereka baca, buku yang paling memengaruhi kehidupan mereka, dan seterusnya.

Hari ini, banyak orang membicarakan buku. Mereka mengunggah sampul buku favorit mereka dan menjadikannya gambar profil. Beberapa dari mereka menulis status berisi kutipan dari buku-buku yang pernah mereka baca, dari pengarang-pengarang terbaik yang paling mereka kagumi. Sementara beberapa yang lain membuat semacam resolusi bahwa tahun ini akan membaca lebih banyak buku dari tahun-tahun sebelumnya.

Namun, di tengah berbagai judul buku yang dibicarakan, ada satu buku yang tampaknya luput dari perhatian. Buku yang di antara jutaan buku-buku lainnya seringkali dibiarkan kesepian di sudut-sudut rak perpustakaan… Buku yang di beberapa rumah dibiarkan berdebu… Buku yang beberapa orang merasa malu untuk mengutip tulisan-tulisan di dalamnya… Buku yang sering dianggap sebagai ‘bukan buku’ sehingga banyak orang enggan membaca aneka pelajaran dan kisah-kisah yang terkandung di dalamnya.

Buku itu bernama Al-Quran Al-Karim.

Dengan berbagai alasan, beberapa orang enggan menyebut dan menganggapnya sebagai buku, karena katanya ia adalah ‘kitab suci’. Menurut mereka, ia berbeda dengan buku biasa, ia adalah buku yang paling istimewa! Hey, bukankah buku yang paling istimewa pun tetap merupakan sebuah buku? Allah sendiri dalam Al-Quran bahkan menyebutnya sebagai ‘buku’ (dalam bahasa Arab, ‘kitab’)… kitab yang tak ada sedikitpun keraguan di dalamnya.

Khaled Abou el-Fadl dalam bukunya yang berjudul ‘A Conference of the Books: The Search of Beauty in Islam’ (2005) menyebut Al-Quran sebagai buku yang paling menginspirasi lahirnya jutaan buku lain setelahnya. Bagi El-Fadl, jika saja bisa terselenggara sebuah musyawarah buku, maka Al-Quran akan selalu menjadi pembicara utama yang bisa menjawab sekaligus memberi rujukan bagi berbagai persoalan yang diajukan… Ia akan menjadi titik pusat bagi jutaan bahkan miliaran buku lain yang terus-menerus bertawaf mengelilinginya.

Saya ingat sebuah cerpen dari Jorge Luis Borges yang menceritakan seorang pustkawan buta yang menjaga sebuah labirin perpustakaan raksasa. Dikisahkan suatu hari ia didatangi seorang pemuda yang mencari buku terbaik yang ada di perpustakaan itu, buku yang jika dibaca dengan baik maka akan bisa menyelesaikan seluruh persoalan hidup manusia.

“Ya, kau benar… Konon ada sebuah buku di dalam perpustakaan ini,” kata si pustakawan buta kepada sang pemuda. “Akupun terus mencarinya. Aku sudah menghabiskan seluruh hidupku untuk membaca seluruh buku yang ada di perpustakaan ini, membaca semuanya satu persatu hingga mataku menjadi buta, tetapi sayangnya aku belum berhasil menemukan buku itu…”

Hingga akhir cerita, Borges tidak mengatakan buku apa yang disebut sebagai buku terbaik yang bisa menyelesaikan seluruh persoalan umat manusia itu. Namun sang pemuda dan pustakwan buta terus mencarinya, terus mencarinya…

Ketika membaca cerpen itu, pikiran saya bertanya-tanya: Mungkinkah buku itu adalah Al-Quran?

***

Hari ini adalah hari buku sedunia. Saya merasa saya terlalu lama melupakan dan bahkan mencampakkan sebuah buku yang paling penting dan utama. Buku itu bernama Al-Quran Al-Karim.

Suatu hari saya menonton sebuah film tentang Yusuf (Joseph) yang diadaptasi dari kitab suci agama lain. Hingga film itu selesai, saya menggerutu: Film ini ngawur! Kisah Yusuf AS yang benar yang digambarkan Al-Quran bukan seperti itu! Tapi kemudian saya bertanya pada diri sendiri: Lalu, seperti apa kisah yang benar? Seperti apa Yusuf AS yang digambarkan Al-Quran?

Kemudian saya bergegas mencari Al-Quran saya, membersihkannya dari debu-debu. Lalu membaca dengan saksama kisah Yusuf AS di dalamnya. Di sana saya menyadari betapa indah buku yang sedang saya baca itu, saya takjub betapa hebat Al-Quran dalam menceritakan sesuatu… Sayangnya, mengapa selama ini saya tak mendekati Al-Quran sebagai sebuah buku? Pernahkah saya membaca Al-Quran, misalnya edisi terjemahan Bahasa Indonesianya, dari awal hingga akhir, dan menikmatinya sebagaimana saya membaca sebuah buku?

Saya jadi berpikir, bagaimana saya bisa memahami Al-Quran jika selama ini Al-Quran dibaca sepotong-sepotong? Satu ayat, satu ‘ain, satu lembar, satu surat, satu juz, dan seterusnya. Bagaimana saya bisa memahaminya jika saya membacanya sambil terburu-buru—hanya untuk menuntaskan target khataman atau mengejar setoran bacaan? Tetapi, yang paling mengguncangkan saya adalah mengapa sulit sekali saya meluangkan waktu untuk membacanya?

Saya jadi ingat nasihat guru saya, katanya, “Para Sahabat Nabi mengkhatamkan Al-Quran sekali setiap hari. Tetapi jika kau tak sanggup, bacalah al-Quran satu juz setiap hari.”

Saya bertanya pada guru saya waktu itu, “Jika tetap tidak bisa?”

“Bacalah satu surat setiap hari.” Jawabnya.

“Jika saya tak punya waktu, Guru?”

“Bacalah satu lembar setiap hari.”

“Jika tidak sempat?”

“Bacalah satu ‘ain setiap hari.”

Saya terdiam. “Jika saya begitu sibuk dan tak bisa membaca satu ‘ain setiap hari?”

Guru saya tersenyum, “Bacalah satu ayat setiap hari.”

Saya merasa gusar, lalu mengemukakan sebuah pertanyaan, “Guru, bagaimana jika saya tak bisa membaca Al-Quran?”

Guru saya tersenyum, “Pandanglah Al-Quran itu baik-baik, lalu tanyakanlah kepadanya, ‘Wahai Al-Quran, mengapa aku tak bisa membaca engkau?’

Mengapa aku tak bisa membaca engkau?

Selamat hari buku sedunia!

Melbourne, 23 April 2015

FAHD PAHDEPIE




from One Day One Juz's Facebook Wall

Tidak ada komentar:

Posting Komentar